MAKALAH HUKUM AGRARIA
LARANGAN MENGUASAI TANAH MELAMPAUI BATAS, PENETAPAN LUAS MAKSIMUM,
DAN ABSENTEE
Disusun oleh :
Fincess
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah sebagai
permukaan bumi merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang
kesejahteraan rakyat dan sumber utama bagi kelangsungan hidup manusia. Tanah juga merupakan salah satu faktor
produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa.
Semakin pesatnya pembangunan suatu negara makin mengikis pentingnya tanah untuk
pertanian. Pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan areal yang luas untuk
tempat tinggal, mengakibatkan mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah.
Tanah merupakan
sumber daya yang penting bagi masyarakat, khususnya petani. Petani yang
memerlukan tanah pertanian sebagai sarana mempertinggi produksi pertanian dan
upaya bertahan hidup. Tanah pertanian sangat penting nilainya dalam suatu
negara. Karena pentingnya tanah pertanian, maka tanah pertanian perlu diatur
keberadaanya agar tidak dikuasai secara besar-besaran oleh sebagian pihak saja.
Penguasaan
tanah yang melampaui batas dan juga penguasaan tanah oleh orang yang tidak
berhak, kemudian pemilikan atas tanah merupakan dasar terpenting yang harus
diperhatikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat dan
pemerataan keadilan agar setiap petani dapat mempunyai tanah dengan hak milik
dalam batas-batas yang telah ditentukan.
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan larangan menguasai tanah melampaui
batas
2. Menjelaskan tentang bagaimana penetapan luas
maksimum
3. Menjelaskan pengertian dari apa itu absentee
PEMBAHASAN
A. Pengertian Larangan Menguasai
Tanah Melampaui Batas
Pengertian
“penguasaan” dan “menguasai” dapat diartikan dalam bentuk fisik dan juga
beraspek dalam hukum perdata maupun hukum publik. Penguasaan dalam arti yuridis
adalah penguasaan yang dilandasi hak, dan dilindungi oleh hukum dan pada
umumnya memberikan wewenang kepada pemegang hak untuk menguasai tanah yang dimiliki.
Contohnya pemilik tanah mengerjakan dan mengusahakan tanahnya mengambil manfaat
dari tanah yang dimiliki.
Dengan demikian
dapat dibedakan antara istilah hak penguasaan atas tanah dan hak atas tanah.
Dalam hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah dalam UUPA misalnya
diatur sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hirarki hak-hak penguasaan atas
tanah dijelaskan sebagai berikut:[1]
1.
Hak
bangsa Indonesia dalam pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi, beraspek perdata dan publik
2.
Hak
menguasai dari negara dalam pasal 2, semata-mata beraspek publik
3.
Hak
ulayat masyarakat hukum dalam pasal 3, beraspek perdata dan publik
4.
Hak-hak
perorangan atau individual, semua beraspek perdata, terdiri atas
a.
Hak-hak
atas tanah sebagai hak individu yang semuanya secara langsung diatur dalam
pasal 16 dan 53 UUPA
b.
Hak
jaminan atas tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam pasal 25, 33, 39, dan 51
UUPA
Larangan
menguasai tanah melampaui batas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria (UUPA) diatur dalam Pasal 7 menentukan bahwa
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Ketentuan ini
bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-grondbezit, yaitu bertumpuknya
tanah di tangan golongan-golongan tertentu dan orang-orang tertentu.
Larangan pemilikan tanah yang melampaui batas
terkenal dengan larangan latifundia, artinya larangan penguasaan tanah yang
luas sekali sehingga ada batasan maksimum seseorang boleh mempunyai tanah
terutama tanah pertanian yang disebut ceiling atas kepemilikan tanah.
Pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena
terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah-daerah yang padat
penduduknya, hal ini dapat menyebabkan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi
banyak petani untuk memiliki tanah sendiri.[2]
Menurut taksiran sekitar 60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah.
Mereka menjadi buruh tani atau penggarap tanah kepunyaan orang lain dengan
sistem sewa atau bagi hasil.
Sedangkan
orang-orang yang mempunyai banyak tanah, makin lama tanahnya makin bertambah,
baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau jual
tahunan. Tanah-tanah tersebut diperoleh dari para petani kecil yang mengalami
kesulitan keuangan. Hal ini semakin
diperparah dengan pembagian hasil pertanian tidak seimbang antara pemilik tanah
dengan penggarap tanah. Seperti halnya pada tahun 1960-an 70 sampai 80% rakyat
Indonesia hidupnya dari usaha pertanian, yang paling sedikit 60% keadaanya
menyedihkan, maka jelaslah bahwa groot-grondbezit itu merugikan kepentingan
umum.
B. Penetapan Luas Maksimum
Penetapan luas
maksimum diatur dalam Pasal 17 ayat 1
dan 2 UUPA menyatakan bahwa “Dalam waktu yang singkat perlu diatur luas
maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau
badan hukum.”
Selanjutnya ditetapkan
dalam ayat 3, bahwa “Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan
kepada rakyat yang membutuhkan.” Dengan demikian maka pemilikan tanah yang
merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata,
dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula.
Luas maksimum
harus ditetapkan dengan suatu peraturan perundangan. UUPA
dengan demikian ternyata tidak secara mutlak menghendaki penetapan luas maksimum
itu dilakukan dengan suatu undang-undang, tetapi memungkinkan pemerintah untuk
menetapkannya, dengan suatu peraturan lain. Pembagian tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum itu dan pemberian ganti kerugian kepada
bekas pemiliknya oleh diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam pelaksanaan
dari ketentuan pasal 17 UUPA, maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor
56/Prp Tahun 1960 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Undang-undang
Landform Indonesia. Pada mulanya undang-undang ini berbentuk peraturan
Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang dikeluarkan oleh Pemerintah
pada tanggal 29 Desember 1960, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961.
Undang-undang ini memuat tiga hal, yaitu: [3]
1.
Penetapan luas maksimum pemilikan
dan penguasaan tanah pertanian.
2.
Penetapan luas minimum pemilikan
tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah - tanah itu menjadi bagian - bagian
yang terlampau kecil.
3.
Soal pengembalian dan penebusan
tanah -tanah pertanian yang digadaikan.
Penetepan luas tanah pertanian yang harus
dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Pemerintah pengganti
Undang-undang Nomor 56 tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut:
1.
Seseorang atau orang-orang yang dalam
penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan
menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain,
yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam
ayat (2) pasal ini.
2.
Dengan memperhatikan jumlah
penduduk, luas daerah, dan faktor-faktor lainnya.
Penetapan
luas maksimum tanah pertanian memakai dasar keluarga, yaitu sesuai dengan
ketentuan pasal 17 UUPA, yang dimaksud
dengan keluarga adalah suami, istri, dan anak - anak yang belum kawin dan
menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar 7 orang. Berapa luas tanah
yang dikuasai oleh anggota - anggota suatu keluarga jumlah itulah yang
menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga tersebut.
Dalam
pasal 1 ayat (2) undang - undang N.56 Prp tahun 1960 ditetapkan bahwa luas
maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah yang diperbolehkan adalah sebagai
berikut:
1.
Daerah-daerah
yang tidak padat (kepadatan penduduk sampai 50 tiap kilometer persegi), luas
maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15 hektar untuk sawah atau 20 hektar
untuk tanah kering.
2.
Daerah-daerah
yang kurang (kepadatan penduduk 51 sampai 250 tiap kilometer persegi), luas
maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 10 hektar untuk sawah atau 12 hektar
untuk tanah kering
3.
Daerah-daerah
yang cukup padat (kepadatan penduduk 251 sampai 400 tiap kilometer persegi).
Luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 7.5 hektar untuk sawah atau 9
hektar untuk tanah kering
4.
Daerah-daerah
yang sangat padat (kepadatan penduduk 401 ke atas), luas maksimum penguasaan
tanah pertanian adalah 5 hektar untuk sawah atau 6 hektar untuk tanah kering.
Namun demikian
dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan bahwa dengan memperhatikan keadaan yang
sangat khusus Menteri dapat menambah luas maksimum tersebut paling banyak
menjadi 25 hektar. Keadaan yang sangat khusus tersebut antara lain misalnya
tanahnya sangat tandus dan jumlah anggota keluarganya sangat besar.[4]
Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan
bahwa ketentuan luas maksimum tersebut tidak berlaku terhadap tanah pertanian
adalah sebagai berikut:
1.
Yang
dikuasai dengan hak guna usaha atau
hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari
pemerintah.
2.
Yang
dikuasai oleh badan-badan hukum.
Adapun larangan
mengalihkan hak atas tanah yang melebihi luas maksimum berguna untuk mencegah
jangan sampai orang menghindarkan diri dari akibat penetapan luas maksimum
tersebut maka ditentukan dalam Pasal 4, bahwa orang atau orang-orang sekeluarga
memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang
untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut,
kecuali dengan izin Kepala Agraria Daerah Kabupaten atau Kota yang bersangkutan.
C. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian
Secara Absentee
Tanah absente
disebut juga dengan istilah tanah guntai adalah tanah pertanian yang terletak
di luar kecamatan tempat tinggal pemiliknya, pemilikan tanah secara absente ini
di larang , hal ini berkaitan dengan berlakunya asas tanah pertanian harus
dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya sebagaimana dimuat dalam pasal
10 UUPA.[5]
Larangan
pemilikan tanah pertanian secara absentee di atur dalam Pasal 10 UUPA, PP No.41
Tahun 1964, PP No. 4 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun
1974. Tanah absentee dapat terjadi karena dua hal, yaitu:
1.
Apabila
seorang pemilik tanah pertanian meninggalkan kecamatan tempat tinggalnya di
mana tanah pertanian miliknya itu terletak.
2.
Apabila
pemilik tanah pertanian itu meninggal dunia, sedangkan ahli warisnya
berdomisili dikecamatan lain.
Sesuai
ketentuan Pasal 3a PP No. 41 Tahun 1964, apabila berpindah tempat atau
meninggalkan tempat kediaman keluar kecamatan tempat letak tanah, wajib
melaporkan kepada pejabat yang berwenang, maka 1 (satu) tahun terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu 2 tahun dia meninggalkan tempat tinggalnya, diwajibkan
memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di
kecamatan itu. Apabila dia tidak melapor maka kewajiban itu harus dilaksanakan
dalam 2 tahun terhitung sejak meninggalkan tempat kediamannya.
Khusus tanah
yang diperoleh melalui pewarisan, maka (ahli waris) dalam waktu 1 tahun sejak
pewarisnya meninggal dunia diwajibkan memindahkan hak atas tanahnya kepada
orang lain yang berdomisili di kecamatan letak tanah atau berpindah ke tempat
kecematan letak tanah itu (Pasal 3c PP No. 41 Tahun 1964).
Dengan adanya
larangan pemilikan tanah secara absente, maka ada dua kewajiban yang harus di
laksanakan oleh pemiliknya, yakni sebagi berikut.
1.
Memindahkan
kepemilikan tanah , pemilik tanah harus mengalihkan tanahnya kepada orang lain
yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya., atau pemilik tanah yang
pindahh ke kecamatan tempat letak tanahnya. Sesuai dengan ketentuan pasal 3
ayat 1 PP. No. 224 Tahun 1961. Berdasarkan pasal ini, jangka Waktu untuk
memindahkan atau berpindah adalah 6 bulan sejak berlakunya PP No. 224 tahun
1961.
2.
Pengajuan
hak baru, berdasarkan ketentuan pasal 3 Permendagri No. 15 tahun 1974 , mereka
yang memiliki tanah pertanian secara absente dan belum di kuasi oleh pemerintah
berdasarkan PP No.224 tahun 1961 wajib melaporkan kepada panitia
pertimbangan landreform kabupaten/kota yang bersangkutan dalam waktu 6
bulan setelah berlakunyaa permendagri No. 15 Tahun 1974.
3.
Pengecualian
larangan pemilikan tanah pertanian secara absente adalah sebagai berikut:
1)
Orang-orang
yang berdomisili di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak
tanah yang oleh panitia pertimbangan landreform Kabupaten/Kota masih di
mungkinkan adanya peggarapan tanah secara efisien dan tanah itu telah di
milikinya sejak saat sebelum berlaku PP No. 224 Tahun 1961.
2)
Pegawai
Negeri Sipil atau TNI serta orang lain yang di persamakan dengan mereka
3)
Mereka
yang sedang menunaikan kewajiban agama
4)
Mereka
yang punya alasan khusus lainnya yang di
terima oleh Direktor Jendral Agraria (sekarang BPN).
Kesimpulan
Larangan
menguasai tanah melampaui batas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria (UUPA) diatur dalam Pasal 7 menentukan bahwa
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-grondbezit, yaitu
bertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan tertentu dan orang-orang
tertentu.
Penetapan luas
maksimum diatur dalam Pasal 17 ayat 1
dan 2 UUPA menyatakan bahwa “Dalam waktu yang singkat perlu diatur luas
maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau
badan hukum.”
Tanah absente
disebut juga dengan istilah tanah guntai adalah tanah pertanian yang terletak
di luar kecamatan tempat tinggal pemiliknya, pemilikan tanah secara absente ini
di larang , hal ini berkaitan dengan berlakunya asas tanah pertanian harus
dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya sebagaimana dimuat dalam pasal
10 UUPA.yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan
hukum.”
DAFTAR PUSTAKA
Boedi, Harsono. 1995. Hukum Agraria
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Arba. 2017. Hukum Agraria Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika
Supriyadi. 2010. Hukum Agraria,
Jakarta: Sinar Grafika
[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
(Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 20
[3] Arba, Hukum
Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 183
[4] Supriyadi, Hukum
Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 203
[5] Arba, Hukum
Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 188