Search This Blog

Thursday, October 11, 2018

MAKALAH HUKUM AGRARIA LARANGAN MENGUASAI TANAH MELAMPAUI BATAS, PENETAPAN LUAS MAKSIMUM, DAN ABSENTEE


MAKALAH HUKUM AGRARIA
LARANGAN MENGUASAI TANAH MELAMPAUI BATAS, PENETAPAN LUAS MAKSIMUM, DAN ABSENTEE



Disusun oleh :
                                                Fincess

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Tanah sebagai permukaan bumi merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang kesejahteraan rakyat dan sumber utama bagi kelangsungan hidup manusia.  Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Semakin pesatnya pembangunan suatu negara makin mengikis pentingnya tanah untuk pertanian. Pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan areal yang luas untuk tempat tinggal, mengakibatkan mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah.
Tanah merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat, khususnya petani. Petani yang memerlukan tanah pertanian sebagai sarana mempertinggi produksi pertanian dan upaya bertahan hidup. Tanah pertanian sangat penting nilainya dalam suatu negara. Karena pentingnya tanah pertanian, maka tanah pertanian perlu diatur keberadaanya agar tidak dikuasai secara besar-besaran oleh sebagian pihak saja.
Penguasaan tanah yang melampaui batas dan juga penguasaan tanah oleh orang yang tidak berhak, kemudian pemilikan atas tanah merupakan dasar terpenting yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat dan pemerataan keadilan agar setiap petani dapat mempunyai tanah dengan hak milik dalam batas-batas yang telah ditentukan.

B.  Rumusan Masalah
1.  Menjelaskan larangan menguasai tanah melampaui batas
2.  Menjelaskan tentang bagaimana penetapan luas maksimum
3.  Menjelaskan pengertian dari apa itu absentee


PEMBAHASAN
A. Pengertian Larangan Menguasai Tanah Melampaui Batas
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat diartikan dalam bentuk fisik dan juga beraspek dalam hukum perdata maupun hukum publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, dan dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan wewenang kepada pemegang hak untuk menguasai tanah yang dimiliki. Contohnya pemilik tanah mengerjakan dan mengusahakan tanahnya mengambil manfaat dari tanah yang dimiliki.
Dengan demikian dapat dibedakan antara istilah hak penguasaan atas tanah dan hak atas tanah. Dalam hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak  penguasaan atas tanah dalam UUPA misalnya diatur sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dijelaskan sebagai berikut:[1]
1.        Hak bangsa Indonesia dalam pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik
2.         Hak menguasai dari negara dalam pasal 2, semata-mata beraspek publik
3.         Hak ulayat masyarakat hukum dalam pasal 3, beraspek perdata dan publik
4.        Hak-hak perorangan atau individual, semua beraspek perdata, terdiri atas
a.    Hak-hak atas tanah sebagai hak individu yang semuanya secara langsung diatur dalam pasal 16 dan 53 UUPA
b.    Hak jaminan atas tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam pasal 25, 33, 39, dan 51 UUPA
Larangan menguasai tanah melampaui batas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria (UUPA) diatur dalam Pasal 7 menentukan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-grondbezit, yaitu bertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan tertentu dan orang-orang tertentu.
 Larangan pemilikan tanah yang melampaui batas terkenal dengan larangan latifundia, artinya larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian yang disebut ceiling atas kepemilikan tanah.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah-daerah yang padat penduduknya, hal ini dapat menyebabkan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri.[2] Menurut taksiran sekitar 60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah. Mereka menjadi buruh tani atau penggarap tanah kepunyaan orang lain dengan sistem sewa atau bagi hasil.
Sedangkan orang-orang yang mempunyai banyak tanah, makin lama tanahnya makin bertambah, baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau jual tahunan. Tanah-tanah tersebut diperoleh dari para petani kecil yang mengalami kesulitan keuangan.  Hal ini semakin diperparah dengan pembagian hasil pertanian tidak seimbang antara pemilik tanah dengan penggarap tanah. Seperti halnya pada tahun 1960-an 70 sampai 80% rakyat Indonesia hidupnya dari usaha pertanian, yang paling sedikit 60% keadaanya menyedihkan, maka jelaslah bahwa groot-grondbezit itu merugikan kepentingan umum.

B.  Penetapan  Luas  Maksimum
Penetapan luas maksimum diatur dalam Pasal 17  ayat 1 dan 2 UUPA menyatakan bahwa “Dalam waktu yang singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum.”
Selanjutnya ditetapkan dalam ayat 3, bahwa “Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.” Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula.
Luas maksimum harus ditetapkan dengan suatu peraturan perundangan. UUPA dengan demikian ternyata tidak secara mutlak menghendaki penetapan luas maksimum itu dilakukan dengan suatu undang-undang, tetapi memungkinkan pemerintah untuk menetapkannya, dengan suatu peraturan lain. Pembagian tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu dan pemberian ganti kerugian kepada bekas pemiliknya oleh diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam pelaksanaan dari ketentuan pasal 17 UUPA, maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 56/Prp Tahun 1960 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Undang-undang Landform Indonesia. Pada mulanya undang-undang ini berbentuk peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961. Undang-undang ini memuat tiga hal, yaitu: [3]
1.        Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
2.        Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah - tanah itu menjadi bagian - bagian yang terlampau kecil.
3.        Soal pengembalian dan penebusan tanah -tanah pertanian yang digadaikan.
Penetepan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 56 tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut:
1.        Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini.
2.        Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor-faktor lainnya.

Penetapan luas maksimum tanah pertanian memakai dasar keluarga, yaitu sesuai dengan ketentuan  pasal 17 UUPA, yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri, dan anak - anak yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar 7 orang. Berapa luas tanah yang dikuasai oleh anggota - anggota suatu keluarga jumlah itulah yang menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga tersebut.
Dalam pasal 1 ayat (2) undang - undang N.56 Prp tahun 1960 ditetapkan bahwa luas maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1.        Daerah-daerah yang tidak padat (kepadatan penduduk sampai 50 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15 hektar untuk sawah atau 20 hektar untuk tanah kering.
2.        Daerah-daerah yang kurang (kepadatan penduduk 51 sampai 250 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 10 hektar untuk sawah atau 12 hektar untuk tanah kering
3.        Daerah-daerah yang cukup padat (kepadatan penduduk 251 sampai 400 tiap kilometer persegi). Luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 7.5 hektar untuk sawah atau 9 hektar untuk tanah kering
4.        Daerah-daerah yang sangat padat (kepadatan penduduk 401 ke atas), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 5 hektar untuk sawah atau 6 hektar untuk tanah kering.
Namun demikian dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan bahwa dengan memperhatikan keadaan yang sangat khusus Menteri dapat menambah luas maksimum tersebut paling banyak menjadi 25 hektar. Keadaan yang sangat khusus tersebut antara lain misalnya tanahnya sangat tandus dan jumlah anggota keluarganya sangat besar.[4]
 Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan bahwa ketentuan luas maksimum tersebut tidak berlaku terhadap tanah pertanian adalah sebagai berikut:
1.        Yang dikuasai dengan hak guna usaha atau  hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah.
2.        Yang dikuasai oleh badan-badan hukum.
Adapun larangan mengalihkan hak atas tanah yang melebihi luas maksimum berguna untuk mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri dari akibat penetapan luas maksimum tersebut maka ditentukan dalam Pasal 4, bahwa orang atau orang-orang sekeluarga memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin Kepala Agraria Daerah Kabupaten atau Kota yang bersangkutan.
C. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Tanah absente disebut juga dengan istilah tanah guntai adalah tanah pertanian yang terletak di luar kecamatan tempat tinggal pemiliknya, pemilikan tanah secara absente ini di larang , hal ini berkaitan dengan berlakunya asas tanah pertanian harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya sebagaimana dimuat dalam pasal 10 UUPA.[5]
Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee di atur dalam Pasal 10 UUPA, PP No.41 Tahun 1964, PP No. 4 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1974. Tanah absentee dapat terjadi karena dua hal, yaitu:
1.        Apabila seorang pemilik tanah pertanian meninggalkan kecamatan tempat tinggalnya di mana tanah pertanian miliknya itu terletak.
2.        Apabila pemilik tanah pertanian itu meninggal dunia, sedangkan ahli warisnya berdomisili dikecamatan lain.
Sesuai ketentuan Pasal 3a PP No. 41 Tahun 1964, apabila berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediaman keluar kecamatan tempat letak tanah, wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang, maka 1 (satu) tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 2 tahun dia meninggalkan tempat tinggalnya, diwajibkan memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu. Apabila dia tidak melapor maka kewajiban itu harus dilaksanakan dalam 2 tahun terhitung sejak meninggalkan tempat kediamannya.
Khusus tanah yang diperoleh melalui pewarisan, maka (ahli waris) dalam waktu 1 tahun sejak pewarisnya meninggal dunia diwajibkan memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang berdomisili di kecamatan letak tanah atau berpindah ke tempat kecematan letak tanah itu (Pasal 3c PP No. 41 Tahun 1964).
Dengan adanya larangan pemilikan tanah secara absente, maka ada dua kewajiban yang harus di laksanakan oleh pemiliknya, yakni sebagi berikut.
1.        Memindahkan kepemilikan tanah , pemilik tanah harus mengalihkan tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya., atau pemilik tanah yang pindahh ke kecamatan tempat letak tanahnya. Sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat 1 PP. No. 224 Tahun 1961. Berdasarkan pasal ini, jangka Waktu untuk memindahkan atau berpindah adalah 6 bulan sejak berlakunya PP No. 224 tahun 1961.
2.        Pengajuan hak baru, berdasarkan ketentuan pasal 3 Permendagri No. 15 tahun 1974 , mereka yang memiliki tanah pertanian secara absente dan belum di kuasi oleh pemerintah berdasarkan PP  No.224  tahun 1961 wajib melaporkan kepada panitia pertimbangan landreform kabupaten/kota yang bersangkutan dalam waktu 6 bulan setelah berlakunyaa permendagri No. 15 Tahun 1974.
3.        Pengecualian larangan pemilikan tanah pertanian secara absente adalah sebagai berikut:
1)   Orang-orang yang berdomisili di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang oleh panitia pertimbangan landreform Kabupaten/Kota masih di mungkinkan adanya peggarapan tanah secara efisien dan tanah itu telah di milikinya sejak saat sebelum berlaku PP No. 224 Tahun 1961.
2)   Pegawai Negeri Sipil atau TNI serta orang lain yang di persamakan dengan mereka
3)   Mereka yang sedang menunaikan kewajiban  agama
4)   Mereka yang punya alasan khusus  lainnya yang di terima oleh Direktor Jendral Agraria (sekarang BPN).
Kesimpulan
Larangan menguasai tanah melampaui batas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria (UUPA) diatur dalam Pasal 7 menentukan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-grondbezit, yaitu bertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan tertentu dan orang-orang tertentu.
Penetapan luas maksimum diatur dalam Pasal 17  ayat 1 dan 2 UUPA menyatakan bahwa “Dalam waktu yang singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum.”
Tanah absente disebut juga dengan istilah tanah guntai adalah tanah pertanian yang terletak di luar kecamatan tempat tinggal pemiliknya, pemilikan tanah secara absente ini di larang , hal ini berkaitan dengan berlakunya asas tanah pertanian harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya sebagaimana dimuat dalam pasal 10 UUPA.yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum.”










DAFTAR PUSTAKA
Boedi, Harsono. 1995. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Arba. 2017. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Supriyadi. 2010. Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika






[1]  Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 20
[2]  Ibid, hal.290
[3] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 183
[4] Supriyadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 203
[5] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 188

No comments:

Post a Comment

Laporan Magang III Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses pendewasaan peserta didik melalui pembelajaran se...