SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR
“Makalah ini untuk didiskusikan pada mata kuliah Qawaid Tafsir
Disusun Oleh Kelompok 3
Monika Putri 1522100044
Adi Febi Hidayat 1532100074
Dosen Pengampu:
Pathurrahman, M. Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an
adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran
Islam.Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat
Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan
dan pencurahan hati bagi yang membacanya.al-Qur’an bagaikan samudra yang
tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan
khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan
berbagai cara, dan memberikan manfaat serta dampak luar biasa bagi kehidupan
manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin.al-Qur’an
secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu
berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia.Dan untuk bisa memahami
ajaran-ajaran al Qur’an, tidaklah cukup dengan kita membaca teksnya tanpa
mengetahui penafsirannya. Karena dengan mengetahui penafsiran, kita akan lebih
mengetahui maksud yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut. Oleh kerena itu,
dapat kita sebut bahwa mengetahui tafsir adalah anak kunci perbendaharaan isi al
Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan tuntunan dan memperbaiki keadaan
manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.Jika demikian
itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat,
menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpani yang tertimbun dalam al-Qur’an.[1] Adapun
makalah kami akan membahas mengenai Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Sejarah Metodologi Tafsir.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu metodologi tafsir?
2.
Bagaimana perkembangan metodologi tafsir?
3.
Sebutkan macam-macam metode tafsir?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metodologi Tafsir
Kata metode
berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa
Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj.Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[2]
Pengertian
metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan
dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik.Jadi
dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir al-Qur’an
tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam
ayat-ayat.
Sedangkan
tafsir, dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan keterangan atau penjelas
tentang ayat-ayat al-Qur’an agar maksudnya lebih mudah dipahami.Maka, kitab
tafsir adalah buku yang berisi keterangan dan penjelasan tentang ayat-ayat
al-Qur’an agar maksudnya lebih mudah dipahami. Sehingga pemahaman istilah kitab
tafsir dalam bahasa Arab dan Bahasa Indonesia sama persis.[3]
B.
Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dulu sampi
sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran al-Qur’an itu
dilakukan melalui empat cara (metode) yaitu: ijmali (global), tahlili
(analitis), muqarin (perbandingan), dan maudhu’I (tematik). Pada
mulanya usaha penafsiran al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas
dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh
satu kosa kata.Namun sejalan dengan berkembangnya laju masyarakat, berkembang
dan bertambah besar pula porsi perananan akal atau ijtihad dalam penafsiran
yang beraneka ragam coraknya.[4]
Lahirnya metode-metode tafsir tersebut,
disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu
dinamis. Pada zaman nabi dan sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa
Arab dan mengetahui secara baik latar belakang
turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi
dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif
dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada
kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi
cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmali]. Itulah
sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya
tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an.[5]
Setelah Islam
mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa
non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan
pemikiran Islam. Maka, konsekuensi
dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
yang sesuai dengan perkembangan zaman
dan tuntutan kehidupan
ummat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi ini, merupakan pendorong
lahirnya tafsir dengan metode analitis [tahlili], sebagaimana
tertuang di dalam
kitab-kitab tafsir tahlili. Metode penafsiran
serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan
penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.
Akhirnya berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yang lain yaitu:
al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai model yang dihasilkannya,
seperti fiqih, tasawwuf,
falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.
Dengan munculnya dua bentuk
penafsiran (ijmali dan tahlili)
dan didukung kondisi ummat ingin mengetahui pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya
berbeda. Ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan
perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh
mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an. ”Dengan demikian
lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] Perkembangan
selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi
ummat pada abad modern yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi
terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan
realitas kehidupan masyarakat. Untuk itu,
”ulama tafsir pada
abad modern menawarkan
tafsir al-Qur’an dengan metode
baru, yang disebut dengan metode
tematik [maudhu’i]
C.
Macam-Macam Metode Tafsir
1.
Metode Penafsiran Ijmali
Secara harfiah
kata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu
secara tidak terperinci. Maka tafsir ijmali dapat diartikankepada
penjelasan maksud ayat al-Qur’an secara umum dengan tidak memperincinya, atau
penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi yang terkandung dalam suatu
ayat.Tafsir ijmali yaitu, penafsiran al-Qur’an dengan uraian singkat dan
global tanpa uraian panjang lebar.Mufasir menjelaskan arti dan makna ayat
dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung
hal-hal selain arti yang dikehendaki.[6]
Metode tafsir ijmali
menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai
obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas sehingga masih
menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan
memakai metode ijmali, layaknya membaca al-Qur’an. Uraian yang singkat
dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan
ayat yang ditafsirkan.
a.
Kelebihan Metode Ijmali
Apa dan
bagaimanapun bentuk suatu metodologi, ia tetap merupakan produk ijtihad, yakni
hasil olah pikir manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kepintaran yang luar
biasa jauh melebihi kemampuan penalaran yang dimiliki oleh makhluk-makhluk
lain, mereka tetap mempunyai kelemahan dan keterbatasan yang tidak bisa mereka
hindarkan seperti adanya sifat lupa, lalai, dan sebagainya.[7]
Adapun kelebihan metode ijmali, terletak pada: (1) Praktis dan mudah
dipahami, (2) Bebas dari penafsiran israilat, (3) Akrab dengan bahasa
Al-Qur’an.
b.
Kekurangan Metode ijmali
Adapun kekurangan
metode ijmaliadalah: (1) Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial,
(2) Tak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.Meskipun demikian
model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok
bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka
yang disibukkan oleh pekerjaannya sehari-hari atau mereka yang tidak
membutuhkan uraian yang setail tentang pemahaman suatu ayat.[8]
Contoh: QS. Al-Luqman:1
øÎ)ur
tA$s%
ß`»yJø)ä9
¾ÏmÏZö/ew
uqèdur
¼çmÝàÏèt
¢Óo_ç6»t
w
õ8Îô³è@
«!$$Î/
(
cÎ)
x8÷Åe³9$#
íOù=Ýàs9
ÒOÏàtã
ÇÊÌÈ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
2.
Metode Tahlili
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat dari seluruh aspeknya. Tafsir tahlili ialah mengkaji
ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi maknanya, ayat demi ayat dan surat demi
surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode
ini kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang
dituju dan kandungan ayat, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang
dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di istinbat-kan dari ayat
serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat
sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab turunnya ayat,
hadits-hadits Rasulullah Saw dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.[9]
Secara etimologi, metode tahlili berarti menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya,
mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan,
kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah
itu (wajh al-minasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab
al-nuzul), riwayat-riwayat berasal dari nabi Saw, sahabat dan tabi’in.[10]
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas
sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan
al-Qur’an.Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatie lebih
mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam
penafsiran al-Qur’an.Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih
pesat perkembangnya.Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bias dilihat
dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-qur’an secara parsial, (2) melahirkan
penafsiran subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.[11]
3.
Metode Muqarrin
Tafsir muqarrin
yaitu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara membandingkan penafsiran para
ulama.[12]
Metode penafsiran muqarrin ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan
ayat-ayat alQur’an dengan hadist-hadist nabi secara lahiriyah tampak berbeda.
Metode ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’an dengan metode ini memiliki
cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat dengan
hadist, tetapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan
ayat.Dalam mengadakan perbandingan ayat-ayat yang berbeda redaksi di atas
ditempuh beberapa langkah:[13]
a.
Menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang
berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda.
b.
Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan
redaksinya.
c.
Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan
kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan.
d.
Melakukan perbandingan.
Adapun
kelebihan metode muqarrin: (1) Memberikan wawasan penafsiran yang
relatife lebih luas kepada pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain,
(2) membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh
berbeda dari pendapat kita, (3) metode ini sangat berguna bagi mereka yang
ingin mengetahui berbagai pebdapat tentang suatu ayat, (4) dengan menggunakan
metode ini maka mufassir di dorong untuk mengkaji berbagai ayat dan
hadist-hadist serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Adapun
kelemahan metode muqarrin: (1) penafsiran pada metode muqarrin ini
tidak dapat diberikan kepada pemula, disebabkan pembahasan pembahasan yang
dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim, (2) metode
muqarrin kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang
tumbuh di tengah masyarakat, disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan
dari pada pemecahan, (3) metode muqarrin terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama’ dari pada
mengemukakan penafsiran baru.[14]
4.
Metode Tematik (Maudhui)
Metode tematik
ialah membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.Semua ayat yang berkaitan, dihimpun.Kemudian dikaji secara mendalam
dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab
al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.Semua dijelaskan dengan rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, baik argument itu berasal dari Al-Qur’an, Hadits, maupun
pemikiran Rasional. Di antara tafsir yang masuk kategori ini, misalnya, Al-Insan
Fi Al-Qur’an, dan Al-Marat fi Al-Qur’an: keduanya karangan Mahmud al-Aqqad,
Al-Riba fi Al-Qur’an karangan al-Maududi.[15]
Adapun kelebihan,
yaitu sebagai berikut: (1) Menjawab tentang zaman, (2) Praktis dan sistematis,
(3) Dinamis, (4) Membuat pemahaman menjadi utuh.Adapun kekurangan metode maudhui
adalah: (1) Memenggal ayat Al-Qur’an, (2) Membatasi pemahaman ayat.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir maka diantara semua metode
memiliki kelebihan dan kekurangan.Diantara mufassir tidak dibenarkan untuk
mengklaim tafsirnya lah yang memiliki kebenaran muthlak. Inilah yang patut
untuk dihindari sikap truth claim diantara mufassir. Sebab pencarian makna
hakiki akan maksud teks ketuhanan yang termaktub dalam qur’an merupakan
pencaraian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar pemikiran inilah
diyakini sangat terbuka untuk menemukan metode-metode lain sebagai alternatif
pengembangan metodologi tafsir. Sejumlah pihak mengatakan bahwa metodologi yang
dapat dikembangkan adalah metode Tahlili, sebagian metode maudzu’i dan
sebagian yang lain mengatakan yang wajib
dikembangkan adalah metode Muqarin. Masing-masing kelompok ini memiliki argumentasinya
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi,
Abd.Al-Hayy. 1996. Metode Tafsir Maudhu’i. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada)
As-Shiddiqiey,
Hasbi. 2009. Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. (Semarang: Pustaka Rizki Putera)
Baidan, Nashruddin.
2005. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset)
Baraja, Abbas Arfan. 2009. Ayat-Ayat
Kauniyah. (Malang: UIN-Malang Press)
Khaeruman,Badri.2004.
Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an.(Bandung: CV. Pustaka Setia)
Marzuki, A. Khoironi. 2002. Metode
Penafsiran al-Qur’an.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Rosihon, Anwar. 1999. Ilmu
Tafsir. (Bandung: Pustaka Setia Press)
Samsurrohman. 2014. Pengantar
Ilmu Tafsir. (Jakarta: Cahaya Prima Sentosa)
Shihab, M. Quraish. 2002. Membumikan
Al-Qur’an. (Bandung: Penerbit Mizan)
Yusuf, Kadar M.2010.Studi
Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah)
[1] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Penerbit Mizan, 2000),
hlm. 172
[2] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2005), hlm. 1
[3] Abbas
Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm.
3
[4] M.
Quraish Shihab, Membumikan..., hlm. 72
[5] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Cahaya Prima Sentosa, 2014), hlm. 47-50
[6]
Kadar M.Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 145
[7]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 21-27
[8] Hasbi
As-Shiddiqiey, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki
Putera, 2009), hlm. 241
[9] Abd.
Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 12
[10]
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia Press, 1999), hlm.
159
[11] A.
Khoironi Marzuki, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 105
[12] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 14-16
[13] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 100-102
[14]
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 142-144
[15] Nashiruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 151
[16] Nashiruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 165-168
No comments:
Post a Comment