Search This Blog

Thursday, October 11, 2018

MAKALAH SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR


SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR

Makalah ini untuk didiskusikan pada mata kuliah Qawaid Tafsir



Disusun Oleh Kelompok 3

Monika Putri                   1522100044
Adi Febi Hidayat             1532100074   


Dosen Pengampu:
Pathurrahman, M. Pd



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)  RADEN FATAH
PALEMBANG
2018


BAB I
 PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam.Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya.al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat serta dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin.al-Qur’an secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia.Dan untuk bisa memahami ajaran-ajaran al Qur’an, tidaklah cukup dengan kita membaca teksnya tanpa mengetahui penafsirannya. Karena dengan mengetahui penafsiran, kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut. Oleh kerena itu, dapat kita sebut bahwa mengetahui tafsir adalah anak kunci perbendaharaan isi al Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan tuntunan dan memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpani yang tertimbun dalam al-Qur’an.[1] Adapun makalah kami akan membahas mengenai Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Sejarah Metodologi Tafsir.

B.            Rumusan Masalah
1.             Apa itu metodologi tafsir?
2.             Bagaimana perkembangan metodologi tafsir?
3.             Sebutkan macam-macam metode tafsir?

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Metodologi Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos,  yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj.Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[2]
Pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik.Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat.
Sedangkan tafsir, dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan keterangan atau penjelas tentang ayat-ayat al-Qur’an agar maksudnya lebih mudah dipahami.Maka, kitab tafsir adalah buku yang berisi keterangan dan penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an agar maksudnya lebih mudah dipahami. Sehingga pemahaman istilah kitab tafsir dalam bahasa Arab dan Bahasa Indonesia sama persis.[3]

B.            Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dulu sampi sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat cara (metode) yaitu: ijmali (global), tahlili (analitis), muqarin (perbandingan), dan maudhu’I (tematik). Pada mulanya usaha penafsiran al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosa kata.Namun sejalan dengan berkembangnya laju masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi perananan akal atau ijtihad dalam penafsiran yang beraneka ragam coraknya.[4]
Lahirnya metode-metode  tafsir  tersebut,  disebabkan  oleh  tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman nabi dan sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmali]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an.[5]
Setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran  Islam. Maka,  konsekuensi  dari  perkembangan  ini membawa pengaruh  terhadap  penafsiran  ayat-ayat  al-Qur’an  yang  sesuai  dengan perkembangan  zaman  dan  tuntutan  kehidupan  ummat  yang  semakin kompleks dan beragam. Kondisi  ini, merupakan  pendorong  lahirnya  tafsir  dengan metode analitis  [tahlili],  sebagaimana  tertuang  di  dalam  kitab-kitab  tafsir  tahlili. Metode  penafsiran  serupa  itu terasa  lebih cocok di kala  itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang  rinci  terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Akhirnya berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yang lain yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai model yang dihasilkannya, seperti  fiqih,  tasawwuf,  falsafi,  ilmi, adabi  ijtima’i dan lain-lain.
Dengan munculnya  dua  bentuk  penafsiran  (ijmali dan tahlili) dan  didukung  kondisi ummat ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda. Ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir  sebelumnya  dalam memahami  ayat-ayat  al-Qur’an.  ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang  jauh  lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat.  Untuk  itu,  ”ulama  tafsir  pada  abad modern menawarkan  tafsir  al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode  tematik  [maudhu’i]

C.           Macam-Macam Metode Tafsir
1.             Metode Penafsiran Ijmali
Secara harfiah kata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. Maka tafsir ijmali dapat diartikankepada penjelasan maksud ayat al-Qur’an secara umum dengan tidak memperincinya, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi yang terkandung dalam suatu ayat.Tafsir ijmali yaitu, penafsiran al-Qur’an dengan uraian singkat dan global tanpa uraian panjang lebar.Mufasir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.[6]
Metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan.
a.             Kelebihan  Metode Ijmali
Apa dan bagaimanapun bentuk suatu metodologi, ia tetap merupakan produk ijtihad, yakni hasil olah pikir manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kepintaran yang luar biasa jauh melebihi kemampuan penalaran yang dimiliki oleh makhluk-makhluk lain, mereka tetap mempunyai kelemahan dan keterbatasan yang tidak bisa mereka hindarkan seperti adanya sifat lupa, lalai, dan sebagainya.[7] Adapun kelebihan metode ijmali, terletak pada: (1) Praktis dan mudah dipahami, (2) Bebas dari penafsiran israilat, (3) Akrab dengan bahasa Al-Qur’an.


b.             Kekurangan Metode ijmali
Adapun kekurangan metode ijmaliadalah: (1) Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial, (2) Tak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjaannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang setail tentang pemahaman suatu ayat.[8]
  Contoh:  QS. Al-Luqman:1
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
Artinya:      Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

2.             Metode Tahlili
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat dari seluruh aspeknya. Tafsir tahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di istinbat-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab turunnya ayat, hadits-hadits Rasulullah Saw dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.[9]
Secara etimologi, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-minasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), riwayat-riwayat berasal dari nabi Saw, sahabat dan tabi’in.[10]
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur’an.Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatie lebih mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur’an.Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangnya.Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bias dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-qur’an secara parsial, (2) melahirkan penafsiran subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.[11]

3.             Metode Muqarrin
Tafsir muqarrin yaitu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara membandingkan penafsiran para ulama.[12] Metode penafsiran muqarrin ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan ayat-ayat alQur’an dengan hadist-hadist nabi secara lahiriyah tampak berbeda. Metode ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’an dengan metode ini memiliki cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, tetapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.Dalam mengadakan perbandingan ayat-ayat yang berbeda redaksi di atas ditempuh beberapa langkah:[13]
a.             Menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda.
b.             Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya.
c.             Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan.
d.            Melakukan perbandingan.
Adapun kelebihan metode muqarrin: (1) Memberikan wawasan penafsiran yang relatife lebih luas kepada pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain, (2) membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap  pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita, (3) metode ini sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pebdapat tentang suatu ayat, (4) dengan menggunakan metode ini maka mufassir di dorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadist-hadist serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Adapun kelemahan metode muqarrin: (1) penafsiran pada metode muqarrin ini tidak dapat diberikan kepada pemula, disebabkan pembahasan pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim, (2) metode muqarrin kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat, disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan, (3) metode muqarrin terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama’ dari pada mengemukakan penafsiran baru.[14]

4.             Metode Tematik (Maudhui)
Metode tematik ialah membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.Semua ayat yang berkaitan, dihimpun.Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari Al-Qur’an, Hadits, maupun pemikiran Rasional. Di antara tafsir yang masuk kategori ini, misalnya, Al-Insan Fi Al-Qur’an, dan Al-Marat fi Al-Qur’an: keduanya karangan Mahmud al-Aqqad, Al-Riba fi Al-Qur’an karangan al-Maududi.[15]
Adapun kelebihan, yaitu sebagai berikut: (1) Menjawab tentang zaman, (2) Praktis dan sistematis, (3) Dinamis, (4) Membuat pemahaman menjadi utuh.Adapun kekurangan metode maudhui adalah: (1) Memenggal ayat Al-Qur’an, (2) Membatasi pemahaman ayat.[16]

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Setelah mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir maka diantara semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan.Diantara mufassir tidak dibenarkan untuk mengklaim tafsirnya lah yang memiliki kebenaran muthlak. Inilah yang patut untuk dihindari sikap truth claim diantara mufassir. Sebab pencarian makna hakiki akan maksud teks ketuhanan yang termaktub dalam qur’an merupakan pencaraian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar pemikiran inilah diyakini sangat terbuka untuk menemukan metode-metode lain sebagai alternatif pengembangan metodologi tafsir. Sejumlah pihak mengatakan bahwa metodologi yang dapat dikembangkan adalah metode Tahlili, sebagian metode maudzu’i dan sebagian  yang lain mengatakan yang wajib dikembangkan adalah metode Muqarin. Masing-masing kelompok ini memiliki argumentasinya masing-masing.



















DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, Abd.Al-Hayy. 1996. Metode Tafsir Maudhu’i. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
As-Shiddiqiey, Hasbi. 2009. Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. (Semarang: Pustaka Rizki Putera)
Baidan, Nashruddin. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset)
Baraja, Abbas Arfan. 2009. Ayat-Ayat Kauniyah. (Malang: UIN-Malang Press)
Khaeruman,Badri.2004. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an.(Bandung: CV. Pustaka Setia)
Marzuki, A. Khoironi. 2002. Metode Penafsiran al-Qur’an.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Rosihon, Anwar. 1999. Ilmu Tafsir. (Bandung: Pustaka Setia Press)
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: Cahaya Prima Sentosa)
Shihab, M. Quraish. 2002. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Penerbit Mizan)
Yusuf, Kadar M.2010.Studi Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah)





















[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. 172
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2005), hlm. 1
[3] Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. 3
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan..., hlm. 72
[5] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Cahaya Prima Sentosa, 2014), hlm. 47-50
[6] Kadar M.Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 145
[7] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 21-27
[8] Hasbi As-Shiddiqiey, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2009), hlm. 241
[9] Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 12
[10] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia Press, 1999), hlm. 159
[11] A. Khoironi Marzuki, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 105
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 14-16
[13] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 100-102
[14] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 142-144
[15] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 151
[16] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…, hlm. 165-168

No comments:

Post a Comment

Laporan Magang III Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses pendewasaan peserta didik melalui pembelajaran se...